I.1. Latar Belakang Masalah
Hubungan sipil dan militer dirasakan cukup penting untuk mempertahankan dan memperkuat pemerintahan pada suatu negara, misalnya Indonesia yang memiliki latar budaya dan suku yang berbeda- beda atau lebih di kenal dengan sebutan multikultural. Peran militer tersebut karena bersama–sama dalam memelihara dan mempertahankan keamanan. Di samping itu, fungsi militer ialah untuk mempertahankan yang sudah tercapai di bidang non-militer seperti ekonomi dan sosial serta memperkuat posisi sipil dalam pemerintahan.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut, penulis akan menuliskan pengertian antara sipil dan militer. Menurut Sayidiman Suryohadiprojo, sipil adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan masyarakat, atau warga negara pada umumnya. Sedangkan perkataan Militer merupakan pengertian yang bersangkutan dengan kekuatan bersenjata. Secara kongkrit pengertian sipil di Indonesia adalah seluruh masyarakat, dan militer berarti Tentara Nasional Indonesia, yaitu organisasi yang merupakan kekuatan bersenjata dan yang harus menjaga kedaulatan negara Republik Indonesia.dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa militer di Indonesia yang menjelma dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) kini Tentara Nasional Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (POLRI) adalah satu komponen negara yang memiliki andil untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara.
Sebelum menjadi presiden,Soeharto adalah seorang pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Gerakan 30 September yang dipimpin oleh PKI pun bisa di tumpas oleh militer yang dimotori oleh Soeharto. Pada masa inilah peran militer di bidang non–militer pun di akui. Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI[1] yang ditumpas oleh militer, menjadikan Dwifungsi[2] semakin mendapatkan legitimasinya.
Soeharto mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari Soekarno pada tahun 1966 dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Beliau perlahan memperkuat pemerintahannya dengan menggunakan angkatan bersenjata dalam artian melibatkan militer untuk meningkatkan pengaruh pada pemerintahannya. Pada masa ini, beliau membangun Orde Baru dengan mengikutsertakan Angkatan Darat (AD) dan di jadikan sebagai simbol kekuatan yang paling besar di Indonesia. Salah satu cara yang di gunakannya adalah membagi–bagi kan jatah kursi untuk jabatan sipil bagi para perwira ataupun kerabatnya untuk menduduki posisi dalam pemerintahan dengan tujuan agar mereka tunduk dalam pemerintahannya serta mendapatkan dukungan dalam mempertahankan kekuasaanya. [3] Adanya anggota militer yang menduduki jabatan sipil pada masa pemerintahan Soeharto, juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi karena adanya perwira–perwira yang mengalokasikan anggaran belanja untuk membuat suatu bisnis yang sering di sebut sebagai bisnis militer, seperti membentuk usaha dagang seperti koperasi. Kegiatan ini pun di dukung oleh AD dan elit militer. Karena perwira ini tidak mengetahui masalah–masalah teknis pembuatan kebijaksanaan ekonomi, sehingga membutuhkan kaum teknokrat dalam hal ini adalah sipil, guna membentuk kebijaksanaan–kebijaksanaan untuk mengontrol inflasi, keseimbangan perdagangan dan keuntungan yang baik untuk penanam modal asing dan dalam negeri.
Dari uraian di atas, menjelaskan bahwa militer khususnya Angkatan Darat juga menyadari bahwa kedudukannya sangat di butuhkan untuk menciptakan stabilitas nasional[4] dan bahkan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi dengan pembentukan unit–unit bisnis dalam skala besar yang tujuannya untuk mencari uang sendiri ataupun menjadi penyedia jasa bagi pihak lain dalam artian menjadi simbol yang menjaga keamanan pihak swasta.[5]
Kemudian Soeharto dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973,1978,1983,1988,1993 dan 1998. Pada setiap periode inilah banyak sekali terjadi peristiwa–peristiwa politis[6].Maka dari itu, makalah ini akan memaparkan secara spesifik peristiwa yang terjadi masa pemerintahan Soeharto pada masa 1973-1978.
I.2. Alasan Pemilihan Judul
Adapun alasan penulisan judul “Hubungan Sipil – Militer pada masa Orde Baru periode 1973 – 1979” adalah karena penulis ingin memaparkan, menganalisa dan mengetahui lebih jauh sisi kehidupan militer pada zaman Orde Baru khususnya pada periode 5 tahun yaitu antara tahun 1973 – 1978 yang kepemimpinannya dilaksanakan oleh seorang Jenderal Besar Soeharto. Ketertarikan penulis untuk membuat makalah dengan judul ini adalah karena luasnya dan banyaknya contoh dari praktek hubungan sipil – militer yang terjadi pada periode ini. Oleh karena itu penulis berharap judul yang di buat ini serta pembahasannya dapat menjadi bahan bacaan yang baik bagi para pembaca.
I.3. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam makalah ini, penulis akan membatasi ruang lingkup penelitian yaitu mengenai hubungan sipil–militer dalam masa Orde Baru pada periode 1973-1978 agar batasan–batasan penelitian dapat dengan mudah di bahas dan tidak keluar dari fokus pembahasan.
BAB II
KAJIAN TEORETIS
- A. KAJIAN TEORETIS
Dalam bab II ini, penulis akan memaparkan beberapa teori yang berhubungan dengan materi makalah. Adapun teori yang akan di kemukakan adalah teori–teori yang berhubungan dengan hubungan sipil–militer.
Seperti yang kita ketahui bahwa masalah negara yang baru berkembang saat ini adalah bagaimana caranya mengatur dan mengupayakan keadilan dan kesamaan hak–hak yang di peroleh militer,artinya masih banyak yang harus di pelajari oleh negara berkembang bagaimana menata pola hubungan antara hubungan sipil–militer. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan teori mengenai hubungan sipil–militer berikut ini.
Teori Samuel P. Huntington mengenai hubungan sipil–militer
Samuel Huntington mengemukakan bahwa adanya dua konsep yang menjelaskan bagaimana kontrol sipil itu di lakukan. Yaitu Subjective Civilian Control ( Maximizing Civilian Control) yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil. Dapat di artikan bahwa model ini bisa diartikan sebagai upaya meminimalisasi kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok–kelompok sipil. Kedua, Objective Civilian Control ( Maximizing Military Professionalism) yaitu memaksimalkan proesionalisme militer dan menunjukkan bahwa adanya pembagian kekuasaan politik antara kelompok militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku professional.[7]
Dua konsep Huntington ini menuju pada arah non–political professional military yang menempatkan aktor militer sebagai abdi negara yang di tugaskan untuk mempertahankan negara tanpa berupaya untuk mengembangkan sejarah ideologi dan landasan moral dari evolusi negara. Abdi negara ini lalu mengembangkan misi teknis operasional berupa penggunaan kekuatan bersenjata untuk mempertahankan kedaulatan politik dan territorial Negara di bawah kendali otoritas politik sipil yang sah.[8]
Teori Eric. A. Nodlinger mengenai keterlibatan militer dalam politik.
Dalam Militer Dan Politik dijelaskan bahwa ada hal yang melandasi tindakan mengapa militer melakukan intervensi politik di beberapa negara. Adapun ciri dari keterlibatan militer dakam politik ini ada dua yaitu internal dan eksternal. Ciri-ciri internal angkatan bersenjata meliputi struktur hierarki, tingkat profesionalisme dan kepentingan korporat serta latar belakang prajurit militer, identitas etnis, citra tentara termasuk sikap politik mereka. Sedangkan dalam ciri eksternal atau lingkungan meliputi tindakan kepala eksekutif sipil, kemampuan dan keabsahan pemerintahan sipil.[9]
Dari adanya teori – teori yang tersebut diatas tadi, kesimpulan dari penulis adalah militer memiliki fungsi yang sama di tiap negara dalam bidang pertahanan dan keamanan dan juga fungsinya di bidang non–militer yang menyebabkan militer ikut berperan dalam pemerintahan sipil. Agar tidak terjadi konflik dan tercapai hak antara sipil-militer, keduanya memiliki batas-batas tertentu yang disebut sebagai kontrol sipil.
- B. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam suatu penelitian, dikenal adanya dua macam metode, yaitu kualitatif dan kuantitatif[10]. Adapun pengertian dari metode kualitatif Menurut Dr. Lexy J. Moeleong, M.A. adalah merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atu lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat di amati. Sedangkan data kuantitatif digunakan istilah scientific paradigm (pardigma ilmiah, penulis).[11]
Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari orang–orang dan perilaku yang dapat di amati.[12]
Pendapat lain, Kirk dan Miller mendefiniskan bahwa penelitian melalui metode kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang– orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.[13]
Menurut cara memperolehnya, data dibagi menjadi dua yaitu data sekunder dan data primer. Menurut J. Supranto, data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan/suatu organisasi langsung melalui objeknya. Selain itu, data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi dinamakan data sekunder.Pada penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode kualitatif dan data yang digunakan adalah data primer yang di kumpulkan melalui buku-buku, pamflet, majalah, brosur, koran, poster dan dari media internet.
Kesimpulannya, penelitian melalui metode kualitatif ini agar dapat diketahui bahwa sangatlah penting untuk menggunakan variabel penilitian dari objek yang akan di kaji, sehingga respon yang di lakukan oleh orang lain akan bisa dengan mudah dibatasi dari adanya permasalahan yang ada. tentu saja semua dapat di jawab melalui penelitian dari sumber– sumber yang di dapat dan data yang akurat.
BAB III
PERUMUSAN MASALAH
Pada pembahasan dalam bab ini, penulis akan memaparkan peristiwa – peristiwa yang terjadi pada masa 1973-1978 sebagai berikut :
TIME LINE PERIODE ORDE BARU 1973-1978
Year |
Date |
Affair |
1973 |
23 March |
Elected for the second time as President by MPR |
1974 |
15 January |
Malari Affair |
|
16 May |
Establishment of Yayasan Supersemar |
1975 |
8 August |
Establishment of Yayasan Dharmais |
1977 |
2 May |
2nd general Elections under the New Order |
1978 |
22 March |
Elected for 3rd times as president by MPR |
*tabel ini digunakan untuk mempermudah melihat situasi yang terjadi pada masa 1973-1978
Sumber : Retnowati Abdulgani-Knapp. Soeharto-The life and legacy of Indonesia’s second president- publish by Marshal Cavendis Editions. Hal. 354
A. Pemilu pada 23 Maret 1973
Setelah terpilih kembali menjadi presiden Republik Indonesia yang kedua kalinya, Soeharto kemudian mengembangkan trilogi pembangunan[14] yang bercirikan pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan pemerataan kesejahteraan.
B. Penyatuan Partai Politik (1973)
Dalam kepemimpinan politiknya, Soeharto menjalankan sistem kepemimpinan yang terpusat dalam kaitan pembangunan ekonomi dan stabilitas politik serta kesinambungan antara pembangunan dan demokrasi. Dan dengan pemerintahannya yang seperti itu, orde baru diicirikan sebagai pemerintahan yang militeristik. Karena siapapun yang mengganggu stabillitas politik di negeri ini dianggap sebagai penghambat dan di cap sebagai antek PKI, antipancasila, golongan kiri sehingga mereka yang di anggap seperti itu pun harus di tumpas.
Sikap politik Soeharto kemudianpun semakin tidak mengenal istilah kompromi. Di bidang politik, setelah melalui electoral college, Soeharto kembali memenangkan pemilu dan akhirnya ia melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal hanya ada dua partai politik[15] yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP)[16] dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)[17] serta Golkar(Golongan Karya)[18] yang di nyatakan bukan sebagai partai politik melainkan sebagai organisasi peserta pemilu bersama kedua partai politik tersebut. Adanya Soeharto melakukan penyederhanaan partai adalah karena keinginannya untuk menyederhanakan partai politik di Indonesia sebagai akibat dari politik pada masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab tidak berkembangnya pembangunan. Dan Soeharto pun melakukan perubahan-perubahan dalam hal pembangunan.
Akibat dari adanya penyatuan partai politik ini, hak–hak politik rakyatnya pun sangat dibatasi. Soeharto juga menggunakan kekuasaanya untuk membawa aparat pemerintah untuk tidak memilih selain Golkar. Sehingga pertanyaan dari banyak orang luar negeri yang menanyakan bagaimana bisa rakyat Indonesia menerima Golongan Karya yang selalu menang semenjak pemilu pertama dan bukanlah partai politik.
Kemudian UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu di keluarkan. Berikut ini penggalan isi dari UU Republik Indonesia Nomor 3 pada tahun 1975 [19] tentang partai politik dan Golongan Karya yang isinya mempertimbangkan pendayagunaan partai politik dan organisasi-organisasi sosial poltik. Undang-undang ini dibuat dengan maksud diakuinya keberadaan dua partai politik dan adanya satu Golongan Karya yang juga di dasarkan pada hukum–hukum yang berlaku pada saat itu.
Dengan pengelompokan partai-partai dan Golongan Karya, Partai Politik dan Golongan Karya adalah merupakan salah satu sarana perjuangan untuk membina persatuan dan kesatuan bangsa dan salah satu sarana memperjuangkan hak-hak politik Rakyat yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Namun pada kenyataanya, tuhujuan-tujuan yang ada tidak sepenuh tercapai dan terjadi antara ketidakseimbangan kehidupan politik yang terjadi, dengan adanya diskriminasi perlakuan untuk PPP dan PDI sedangkan Golkar menjadi mayoritas yang menyingkirkan partai politik lainnya dalam setiap pemilu. Sehingga memunculkan banyak terjadinya ketidakpuasan. Tetapi sistem yang terjadi pada saat itu yaitu kekuatan militer yang kuat (dengan menggunakan cara kekerasaan yang terjadi karena adanya ketimpangan yang terjadi atas reaksi ketidakpuasan terhadap mayoritasnya Golkar) terjadi sehingga berbagai ketidakpuasan tersebut pun dapat diredam oleh sistem yang berjalan pada saat itu.
Ketika memasuki Pemilihan umum tahun 1977, pemilu ini diselenggarakan dengan mengikutsertakan tiga partai. Golkar selalu menang secara mutlak dan mayoritas. Adanya UU no.3 tahun 1975 juga sangat menguntungkan Golkar yang menyebutkan bahwa kepengurusan partai-partai terbatas pada tingkat pusat, Dati I dan Dati II.Ketentuan ini kemudian dikenal dengan istilah floating mass (masa mengambang). Dua partai lain dibenarkan aktif sampai tiingkat kabupaten atau Dati II, tetapi Golkar bebas untuk bergerak sampai tingkat desa dan bekerjasama dengan aparatur pemerintah[20] dan dalam pelaksanaanya sehari-hari, apartur pemerintah mengintervensi berlebihan terutama di daerah terpencil sebagai usaha untuk mencapai target yang diinginkan.
Tabel Hasil Pemilihan Umum tahun 1977
|
1977 |
GOLKAR |
232 |
PPP |
99 |
PDI |
29 |
TOTAL |
360 |
Sumber : Prof.Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Hal.477
*Tabel ini menunjukkan betapa besarnya dominasi Golkar terhadap partai lainnya.
C. Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974
Peristiwa Malari atau singkatan dari Malapetaka lima belas Januari ini adalah suatu peristiwa saat banyaknya mahasiswa yang berdemo sehingga menyebabkan kerusuhan sosial pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa inipun disebut sebagai tonggak awal mulanya kekerasan yang terjadi pada masa orde baru. Dapat dilihat dari kejadian ini tercatat terdapat orang meninggal 11 orang, 300 orang luka–luka, 775 orang di tahan,sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak dan dibakar, sekitar 144 bangunan rusak dan sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan[21].
Kejadian ini berawal dari adanya kedatangan perdana menteri Jepang Kakuei Tanaka. Kedatangan beliau ini tidak disambut hangat oleh para mahasiswa yang ingin menyambut nya dengan demonstrasi mahasiswa besar–besaran di bandara Halim Perdana Kusuma. Tetapi, karena penjagaan saat itu sangat ketat, sehingga para mahasiswa pun tidak berhasil menerobos masuk ke dalam.
Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi[22] (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.[23]
Menurut LIPI, aktivitas pembakaran barang-barang buatan/merek Jepang itu hanya alasan untuk kepentingan lain dari pihak yang bertikai, bahkan bersaing meraih kekuasaan yang lebih tinggi. Kasus ini mencerminkan friksi elit militer, khususnya rivalitas antara Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo. Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers
Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general)[24].
Dari adanya peristiwa 15 Januari ini, langit Jakarta penuh dengan asap dan berkabut. Sehingga Presiden Soeharto sangat merasa malu karena peristiwa malari ini terjadi didepan tamu negara (saat Perdana Mentri Jepang datang). Sehingga dari kejadian ini, Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan langsung mengambil alih kepemimpinan Komkamtib, dan asisten pribadi nya pun di bubarkan. Beberapa alasan mengapa Ali Moertopo di berhentikan oleh Soeharto karena kegiatan yang di lakukan oleh Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam kedudukan Soeharto. Sehingga persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Selanjutnya, setelah peristiwa ini, Soeharto sangat selektif untuk memilih pembantu dekatnya. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental. Dalam hal ini menunjukkan bahwa Ia semakin anti demokrasi. Misalnya pada saat menghadapi massa yang berdemonstran biasanya dihadapi tidak dengan cara kekerasan, dan setelah peristiwa malari, cara yang di pakai untuk menghadapi protes terhadap pemerinthan di lakukan dengan kekuatan senjata. Contohnya, pada tahun 1978, kampus ITB di Bandung di duduki oleh tentara karena aksi–aksi untuk menentang Orde Baru di lakukan di tempat ini.
Langkah Soeharto selanjutnya, ia pun membangun dan memperluas konsep “Jalan Tengah” yang di rintis oleh Jenderal Nasution yang lebih di kenal sebagai konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan bagi militer dan memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil.[25]
- Pendirian Yayasan Supersemar pada 16 Mei 1974
Pada awalnya banyak kontroversi mengenai pendirian yayasan yang di lakukan oleh Pak Harto. Seperti pada tanggal 16 Mei 1974 Pak Soeharto mendirikan yayasan yang bernama supersemar. Banyak yang beranggapan bahwa alasan yayasan di dirikan adalah sebagai upaya untuk memperkaya hartanya atau mengumpulkan harta.
Yayasan ini didirikan sebagai yayasan untuk memberi beasiswa kepada yang memiliki prestasi tinggi tetapi kurang mampu untuk membayar biaya pendidikan.Dalam pendirian yayasan ini, Soeharto memilik pemikiran bahwa sebagai warga negara, hak nya harus dilindungi yaitu untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini juga tentu saja itu dilakukannya juga sebagai kepala negara, sehingga warga negara yang fakir dan miskin dan yatim piatu juga berhak mendapat kesempatan dalam pendidikan.
Hal ini juga di sebutkan dalam UUD 1945 Pasal 34 yang berbunyi “ Fakir miskin dan anak–anak terlantar di pelihara oleh negara”[26]
Mendukung tugasnya sebagai Presiden/Mandataris MPR, tahun 1974, Soeharto yang mengatas namakan dirinya sebagai warga masyarakat, mendirikan “Yayasan Supersemar” yang tujuannya adalah memberikan beasiswa kepada anak-anak yang mempunyai tingkat kecerdasan, namun tak mampu mengembangkannya karena alasan ketidakmampuan orang tuanya.[27] Soeharto juga beranggapan bahwa bibit masa depan sebagai penerus bangsa harus di kembangkan kemampuannya agar suatu hari nanti bisa memberi kontribusi bagi bangsa.
- Yayasan Dharmais
Kesejahteraan rakyat tentu saja sangat di perlukan dalam pembangunan sebuah bangsa, terutama dalam memerangi kemiskinan serta melaksanakan pasal 34 UUD 1945 yang telah di sebutkan diatas tadi. Karena itu, dalam rangka meningkatkan pembangunan, melaksanakan trilogi, masyarakat diikutsertakan mengatasi hal seperti itu. Apalagi, pembangunan itu merupakan pengamalan Pancasila maka dari itu, didirikan yayasan sosial Dharmais yang juga menampung dan merawat janda-janda dan anak terlantar yang di tinggal setelah kejadian Irian Barat.
Adanya yayasan-yayasan yang didirikan oleh Soeharto adalah karena ia ingin mendirikan dan mengembangkan lembaga berlatar kegiatan sosial dan di picu oleh kejadiaan pada saat pembebasan Irian Barat ( karena banyaknya wanita dan anak-anak yang terlantar).
F. Tahun 1975
Pada tahun 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, Soeharto memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal yaitu Timor Timur, setelah Portugal mundur dari wilayah itu. Dan kemudian timbullah gerakan Fretilin[28] yang memegang kuasa menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia yang meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976, Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur hingga wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.[29]
BAB IV
ANALISIS
Dari penulisan di atas, penulis memahami bahwa pejabat dalam militer khususnya ABRI memiliki kedekatan khusus pada presiden Soeharto dan berpengaruh cukup besar dalam pemerintahan. Bisa dilihat ketika posisi penting dalam sosial, politik, ekonomi masyarakat dalam bentuk menteri, duta besar, anggota Dewan Rakyat, dari yang tingkat tinggi hingga yang tingkat rendah. Seperti menjadi bupati, dan hal ini membuktikan bahwa ABRI juga melakukan intervensi terhadap masyarakat dalam bentuk tersebut. Dan juga bisa terlihat dalam hubungan yang sangat baik pada periode ini, yaitu antara pejabat militer dengan Golkar yang menjadi dasar kekuasaan Soeharto.
Jika dilihat dalam bidang politis, Soeharto telah mengultimatum ABRI agar tetap mendukung Golkar. Sebagai politisi, ia sangat piawai menggunakan simbol-simbol politik dan mempolitisir ABRI guna tetap menjaga kekuasaannya. ABRI pun tidak berkutik terhadap taktik Soeharto.
Dari yang penulis pahami, Soeharto juga mengenalkan konsep patron dan klien yaitu dengan adanya kesinambungan terus menerus dalam perlakuan nya terhadap warga Negara yang menganggap bahwa bagi siapa yang mengganggu stabilitas politik atau pembangunan, maka di anggap sebagai penghambat atau musuh rakyat. Ia juga menempatkan bahwa sebagai pemimpin, warga dianggap tidak memiliki kekuasaan penuh dan untuk itu harus terus mengikutinya.
Dalam hubungannya dengan pendirian yayasan dan lainnya, Soeharto di anggap sebagai penghimpun kekayaan. Menurut penulis, kita harus melihatnya dalam konterks tertentu, misal, dalam sisi psikologi, tentu saja sebagai manusia ia pasti memiliki sikap sosial. Tapi disisi lain, jika kita memandangnya dari segi politik,maka menurut penulis adalah penggunaan atau pendirian yayasan tersebut sebagai dampak ingin melanggengkan kekuasanya karena mau tidak mau akan berpengaruh pada rakyat, dan juga sapa yang tahu jika tujuannya tersebut adalah untuk memperkaya diri dan keluarganya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari tata cara pemerintahan Orde Baru yang berlangsung pada periode 1973 hingga 1978, dapat di ketahui bahwa seiring berjalannya waktu, sistem ini ada yang mengandung model patrimonialisme karena jarang terjadi konflik antara elit politik yang satu dengan yang lainnya meskipun terkesan bahwa patrimonial lebih cenderung kearah pilih kasih dan sikap sewenang wenang dari pemerintah yang berkuasa dan tidak melibatkan kebijaksanaan, tetapi menggunakan pembagian keuntungan atau sesuai dengan yang disukai atau kesukuan.
Militer di zaman ini juga di uji ke profesionalitasnya karena ikut berperan dalam bidang politik yang non-militer sehingga di butuhkan sikap yang profesional dari seorang militer untuk tetap menjaga keutuhan nasional dari segala macam ancaman dan gangguan dari pihak– pihak tertentu. Apalagi militer juga di anggap sebagai “dinamisator”[30] dan “stabilisator”[31], yang mana bersama-sama dengan unsur masyarakat lainnya mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan kemakmukran bagi seluruh rakyat Indonesia.[32]
Pada intinya, penerapan kontrol sipil akan berhsil apabila adanya keadilan dan pemerataan dalam hal pengelolaan ekonomi pertahanan untuk membentuk tentara yang loyal kepada Negara, dan juga membentuk tentara yang professional. Tetapi harus diingat pula agar dalam pelaksanaan anggaran pertahanan Negara ini agar di lakukan secara transparansi.
Kemudian, pemerintah harus dapat membuat program untuk anggaran pertahanan sehingga tercapainya tata pemerintahan yang baik dan menghilangkan sumber–sumber lain dari pendapatan tentara/perwira di luar anggaran negara.
[1] Adalah sebuah kejadian adanya enam pejabat tinggi militer Indonesia yang dibunuh, yaitu Panglima Angkatan Darata Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI MT. Haryono,Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. Kejadian ini terjadi pada tanggal 30 September 1965 dan dipimpin oleh Letkol. Untung. Kemudian, Mayjen Soeharto memotori untuk menumpas gerakan ini.
[2] Dwifungsi ABRI pada awalnya dikenal dengan konsep jalantengah yang digagas oleh Jenderal Nasution yang pada saat pemerintahan Soekarno. Jenderal Nasution menginginkan legitimasi untuk memerankan militer dan memajukan militer bahwa militer tifak hanya sebagai alat sipil saja dan tidak juga sebagai bezim militer yang hanya berada di barak atau asrama dan ketika mau berperan untuk Negara baru muncul. Tetapi juga tidak menginginkan militer di Inonesia seperti di Negara – Negara yang ada pada junta militer yaitu dengan menjalankan fungsi sosial politik melalui cara membangun partnership dengan kekuatan sosial politik lainnya dengan tetap menghindari dominasi politik militer atas sipil.
[3] Harold Crouch.hal.15-16. Patrimonialisme dan Pemerintahan Militer di Indonesia. Tulisan yang berdasar dari makalah yang dipresentasikan pada Kongres VII Perkumpulan Sejarawan Internasional di Asia, Bangkok 1977.
[4] Stabilitas nasional adalah suatu usaha yang di lakukan oleh Angkatan bersenjata yang ditugaskan untuk menjaga kestabilan keamanan, pertahanan, kestabilan ekonomi, serta menjaga negara dari berbagai ancaman yang mengganggu kestabilan keadaan negara.
[5] www.jurnal-humaniora.ugm.ac.id/…/250920061610-Julianto.pdf diakses tanggal 25 Oktober 2009
[6] sebagaimana dapat dilihat contohnya seperti dugaan Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN), peristiwa malari, Santa Cruz, kerusuhan Mei 1998, demonstrasi yang bayak di lakukan oleh mahasiswa,pendudukan DPR/MPR oleh mahasiswa,dan lainnya.
[7] Samuel P.Huntington, The Soldier and The State, The theory and Politics of Civil–Military Relations,1959.Cambridge, Massachussets : the Belknap Press, of Harvard University Press hal. 80-83.
[8]http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&ct=res&cd=1&ved=0CAgQFjAA&url=http%3A%2F%2Fidsps.org%2Foption%2Ccom_docman%2Ftask%2Cdoc_download%2Fgid%2C107%2FItemid%2C15%2F&rct=j&q=Jaleswari+Pramodhawardani%2F1+Dessember+2008+-+LIPI+-+Satu+Dekade+Reformasi+Militer+di+Indonesia&ei=VZn2SuizM8yIkQW41NmqAw&usg=AFQjCNHBbJ9tPTh8t15PI5e2pr-wpBQqfg : Jaleswari Pramodhawardani/1 Dessember 2008 – LIPI – Satu Dekade Reformasi Militer di Indonesia diakses tanggal 27 Oktober 2009
[9]Eric A. Nordlinger,1990 “Militer Dalam Politik”,Jakarta:Rineka Cipta, hal. 1 menyebutkan bahwa ciri yang tersebut diatas bisa di pelajari untuk memahami bentuk serta pola-pola tingkah laku prajurit militer dari titik tolak yang menguntungkan tentara itu sendiri. Selain kedua ciri tersebut, Ia juga menjelaskan istilah prajurit pretorian yaitu militer yang melibatkan diri dalam politik dengan karakteristik dan penyebabnya.
[10]Data yang di buat berdasarkan berapa banyak jumlah atau banyak Sesuatu yang di hitung berdasarkan kuesioner.
[11]Lexy J. Moleong: 1999 “Metodologi Penelitian Kualitatif” Bandung,PT Remaja Rosdakarya. hal.4-5.
[12] Ibid. hal 3.
[13] Ibid. hal 3.
[14] Konsep trilogi ini menjelaskan arah pembangunan ekonomi yang pro pada pasar. Soeharto percaya bahwa adanya pertumbuhan ekonomi akan menjadikan situasi politik yang terjdi di sebuah Negara juga akan terjadi. Pada hal ini, Soeharto meberikan tugas pada militer untuk memastikan stabilisasi politik. Saat itu, kesempatan untuk menciptakan Indonesia menjadi lebih baik di anggap sebagai pilhan terbaik bagi bangsa ini.
[15] Partai politik menurut buku Dasar-Dasar Ilmu Politik dari Prof. Miriam Budiardjo adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya empunyai orientasi,nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik. Hal.403 tindakannya dalam menguasai partai adalah melakukan fusi partai, dan pada tahun 1973, Soeharto mengemukakan bahwa ada tiga golongan yaitu Golongan Spiritual, Golongan Nasionalis, dan Golongan Karya.
[16] Dari penyatuan partai islam yaitu Nahdhatul Ulama, Partai Muslim Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
[17] Dibentuk dari lima partai yaitu Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai Pendukung Kemerdekaan Indonesia (PKI)
[18] Soeharto menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar ditambah birokrasi dan ABRI yang turut menjadi pilar kekuatan Golkar tentu saja membuat Golkar selalu tampil sebagai mayoritas tunggal dalam Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 dan dalam parlemen atau MPR sebagai lembaga tertinggi negara dalam upayanya untuk menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia.
[19] bahwa dengan adanya tiga organisasi kekuatan sosial politik tersebut, diharapkan agar Partai-partai Politik dan Golongan Karya benar-benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan pembangunan, yang sekaligus memberikan kepastian tentang kedudukan, fungsi, hak dan kewajiban yang sama dan sederajat dari organisasi-organisasi kekuatan sosial politik yang bersangkutan yang memadai serta sesuai dengan prinsip prinsip Demokrasi Pancasila serta pelaksanaan pembangunan Bangsa. Dua pasrtai tersebut yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, serta satu Golongan Karya yang pada saat berlakunya Undang-undang ini bernama Golongan Karya. Adapun tujan dari adanya dua partai politik dan satu Golongan Karya ini adalah untuk mewujudkan cita-cita bangsa, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur serta sesuai dengan pancasila,seperti terdapat dalam UUD 1945.
Sumber:http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UU_NO_3_1975_parpol_ok.pdf diakses tanggal 25 Oktober 2009
[20] Pada waktu itu karena Golkar dianggap bukan sebagai Partai.
[21]http://dendemang.wordpress.com/2008/01/16/malari-1974-dan-sisi-gelap-sejarah/ diakses tanggal 25 Oktober 2009
[22]tujuan dari presiden mengangkat asisten pribadi presiden adalah karena beliau memiliki tujuan jangka panjang dalam pembangunan ekonomi. Salah satu tujuannya adalah untuk mengendalikan inflasi guna menstabilkan rupiah yang pada masa sebelumnya perekonomian Indonesia sangat berantakan dan juga memperoleh hutang luar negeri yang mengakibatkan masuknya invesatsi asing. Sehingga peran asisten pribadi presiden bagian finansial yang di pegang oleh Sudjono Humardani sangatlah besar untuk mencapai tujuan – tujuan tersebut. Di bidang lain, Ali Moertopo di serahkan mandat oleh Soeharto sebagai asisten pribadinya dalam bidang sosial politik yang tugasnya adalah untuk menyelesaikan masalah – masalah politik, sebagai contoh yaitu menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan partai politik dan kemudian melakukan fusi dalam sistem kepartaian (menyatukan partai yang berideologi sama, seperti nasionalis yaitu menjadi PPP dan sosialis menjadi PDI)
[23] Log.cit
[24] Adanya persaingan antar elit militer dalam hal ini adalah para jenderal yang meakukan berbagai cara untuk menjatuhkan lawannya.
[25] http://niasonline.net/2009/03/02/menghadang-golongan-putih/ diakses tanggal 25 Oktober 2009
[26] Dalam hal ini, tidak hanya meliputi kebutuhan sandang dan pangan tetapi juga pendidikan
[27] http://soehartocenter.com/yayasan/supersemar/index.shtml bdiakses tanggal 27 Oktober 2009
[28] perintis perjuangan kemerdekaan Timor Leste.
[29] http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto diakses tanggal 27 Oktober 2009
[30] Sebagai penggerak untuk sama–sama menjaga perdamaian dan menjaga keamanan megara
[31] Sebagai penyeimbang karena adanya gejolak yang akan timbul dalam proses pemerintahan dan menstabilkan keadaan ke dalam keadaan yang aman dan tentram, terhindar dari kekacauan.
[32] Log.cit